This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Minggu, 29 September 2013

ABUBAKAR AS



Riwayatnya
Abu Bakar bin Abu Quhafah, turunan bani Taim bin Murrah, bin Ka’ab, bin Lu’ai, bin Kalb Al-Qurasyi. Pada Murrah bertemulah nasabnya dengan Rasul. ibunya Ummul Khair Salma binti Sakhr bin Anrir, turunan Taim bin Murrah juga . Dia lahir pada tahun kedua dari tahun gajah, jadi dua tahun lebih tua Rasulullah daripadanya. Sejak mudanya telah masyhur budinya yang tinggi dan perangai- nya yang terpuji. Dia sanggup menyediakan segala bekal rumah-tangganya dengan usahanya sendiri. Sebelum Rasulullah diutus, persahabatan mereka telah karib juga

Tatkala telah ditetapkan Beliau menjadi Nabi, maka Abu Bakarlah laki-laki dewasa yang mula-mula sekali mempercayainya. Rasulullah paling sayang dan cinta kepada sahabatnya itu, karena dia adalah sahabat yang setia dan hanya satu-satunya orang dewasa tempatnya mesyuarat di waktu pejuangan dengan kaum Quraisy saat sangat hebat-hebatnya. Tiap-tiap orang besar mempunyai kelebihan sendiri, yang akan diingat orang bila menyebut namanya. Abu Bakar masyhur dengan kekuatan kemahuan, kekerasan hati, pemaaf tetapi rendah hati, dermawan dan berani bertindak lagi cerdik.

Di dalam mengatur pemerintahan, meskipun tidak lama, masyhur siasatnya yang mempunyai semboyan keras tak dapat dipatahkan, lemah lembut tetapi tak dapat disenduk. Hukuman belum dijatuhkan sebelum pemeriksaan memuaskan hatinya, sebab itu diperintahkannya kepada wakil-wakilnya di tiap-tiap negeri supaya jangan tergesa-gesa menjatuhkan hukum. Salah menghukum seseorang hingga tidak jadi terhukum, lebih baik daripada salah hukum yang menyebabkan yang tidak bersalah sampai terhukum. Meskipun sukar hidupnya, pantang benar baginya mengadukan halnya kepada orang lain. Tidak ada orang yang tahu kesusahan hidupnya, kecuali beberapa orang sahabatnya yang karib yang senantiasa memperhatikan dirinya, sebagai Umar.

Setelah dia diangkat menjadi Khalifah, beberapa bulan dia masih meneruskan perniagaannya yang kecil itu. Tetapi kemudian ternyata rugi, sebab telah menghadapi urusan negeri sehingga dengan permintaan orang banyak, pemiagaan itu diberhentikannya dan dia mengambil kadar belanja tiap hari daripada kas negara.

Jadi Khalifah
Rasulullah memegang dua jabatan, pertama menyampaikan kewajiban sebagai seorang suruhan Tuhan. Kedua bartindak selaku kepala kaum Muslimin. Kewajiban pertama telah selesai seketika dia menutup mata, tetapi kewajiban yang kedua, menurut partimbangan kaum Muslimin ketika itu perlu disambung oleh yang lain, karena suatu umat tidak dapat tersusun persatuannya kalau mereka tidak mempunyai pemimpin. Sebab itu perlu ada gantinya (khalifahnya).

Belum lagi Rasulullah dikebumikan, telah timbul dua macam pendapat. Pertama ialah menentukan pangkat Khalifah itu di antara kaum keluarga Rasulullah yang terdekat. Pendapat pertama ini terbagi dua pula. Pertama rnenentukan pangkat Khalifah itu dalam persukuan Rasulullah. Kedua hendaklah ditentukan di dalam rumah-tangganya yang sekarib-karibnya. Di waktu dia menutup mata adalah orang yang paling karib kepadanya pamannya (saudara ayahnya) Abbas bin Abdul Muttalib dan anak saudara ayahnya Ali dan ‘Aqil, keduanya anak Abu Thalib. Kelebihan Ali daripada Abbas dan ‘Aqil ialah karea dia menjadi menantu pula dari Rasulullah, suami dari Fatimah.

Kelebihan Abbas ialah dia waris yang paling dekat kepada beliau. Artinya jika sekiranya tidaklah ada beliau meninggalkan anak dan isteri, maka Abbas itulah yang akan menjadi ‘ashabah (waris yang menerima sisa harta) yakni kalau harta Rasulullah boleh diwariskan. Pendapat kedua: Khalifah hendaklah orang Ansar. Setelah Rasulullah berpulang, berkumpullah kepala-kepala kaum Ansar di dalam sebuah balairung kepunyaan bani Sa’idah, baik Ansar pihak Aus mahupun Ansar dari persukuan Khazraj. Maksud mereka hendak memilih Sa’ad bin ‘Ubadah menjadi Khalifah Rasulullah, sebab dialah yang paling terkepala dari pihak kaum Ansar ketika itu.

Apa lagi Sa’ad sendiri telah berpidato kepada mereka menganjur-anjurkan bagaimana keutamaan dan kemuliaan kaum Ansar, terutama dalam membela Rasulullah dan mempertahankan agama Islam, sehingga beroleh gelar Ansar, artinya pembela, tidak ada orang lain yang berhak menjabat pangkat itu melainkan Ansar. Perkataannya itu sangat mendapat perhatian dari hadirin, semuanya setuju. Tetapi salah seorang di antara yang hadir bertanya: ‘Bagaimana kalau saudara-saudara kita orang Quraisy tidak setuju, dan sekiranya mereka kemukakan alasan bahwa merekalah kaum kerabat yang karib dan ahli negerinya, apa jawab kita?’ Seorang Ansar menjawab saja dengan cepat: ‘Kalau mereka tidak setuju, lebih baik kita pilih saja seorang Amir dari pihak kita dan mereka pun memilih pula Amir dari pihaknya, dan kita tidak mahu dengan aturan yang lain.’ Sa’ad membantah sangat pendapat itu, dia berkata: ‘Itulah pangkal kelemahan.’

Berita permesyuaratan itu lekas sampainya kepada orang-orang besar dalam Muhajirin, sebagai Abu Bakar, Umar, Abu ‘Ubaidah dan lain-lain. Sebentar itu juga dengan segera mereka pergi ke balairung itu. Baru saja sampai Abu Bakar terus berpidato:

‘Allah Ta’ala telah memilih Muhammad menjadi RasulNya, membawa petunjuk dan kebenaran. Maka diserunyalah kita kepada Islam, dipegangnya ubun-ubun kita semuanya dan dipengaruhinya bail kita. Kamilah kaum Muhajirin yang mula-mula memeluk Islam, kamilah keluarga Rasulullah, dan kamilah pula suatu kabilah yang boleh dikatakan menjadi pusat perhubungan semua kabilah di Tanah Arab ini, tidak ada satu kabilah pun yang tidak ada perhubungannya dengan kami. Dan kamu pula, kamu mempunyai kelebihan dan keutamaan. Kamu yang membela dan menolong kami, kamulah wazir-wazir besar kami di dalam pekerjaan besar agama ini, dan wazir Rasulullah, kamulah saudara kandung kami di bawah lindungan Kitabullah, kamu kongsi kami dalam agama, baik di waktu senang apa lagi di waktu susah.

Demi Allah, tidak ada kebaikan yang kami dapati, melainkan segala kebaikan itu kamu pun turut menanamnya. Kamulah orang yang paling kami cintai, paling kami muliakan, dan orang-orang yang paling patut takluk kepada kehendak Allah mengikut akan suruhNya. Janganlah kamu dengki kepada saudara kamu kaum Muhajirin, sebab kamulah sejak dahulunya orang yang telah sudi menderita susah lantaran membela kami. Saya percaya sungguh, bahwa haluan kamu belum berubah kepada kami, kamu masih tetap cinta kepada Muhajirin. Saya percaya sungguh, bahwa nikmat yang telah dilebihkan Tuhan kepada Muhajirin ini tidak akan kamu hambat, saya percaya sungguh bahwa kamu tidakkan dengki atas ini: Sekarang saya serukan kamu memilih salah seorang daripada yang berdua ini, iaitu Abu ‘Ubaidah atau Umar, keduanya saya percaya sanggup memikulnya, dan keduanya memang ahlinya.’

Setelah selesai pidato Abu Bakar itu, maka berdirilah Khabbab bin Al-Munzir berpidato pula:’Wahai sekalian Ansar, pegang teguh hakmu, seluruh manusia di pihakmu dan membelamu, seorang pun tidak ada yang akan berani melangkahi hakmu, tidak akan diteruskan orang suatu pekejaan, kalau kamu tak campur di dalam. Kamu ahli kegagahan dan kemuliaan, kaya dan banyak bilangan, teguh dan banyak pengalaman, kuat dan gagah perkasa. Orang tidak akan melangkah ke muka sebelum melihat gerak kamu. Kamu jangan berpecah, supaya maksud kita jangan terhalang. Kalau mereka tidak hendak memperhatikan juga, biarlah mereka beramir sendiri dan kita beramir sendiri pula.’Mendengar itu Umar lalu menyambung pembicaraannya: ‘Jangan, itu sekali-kali jangan disebut: Tidak dapat berhimpun dua kepala dalam satu kekuasaan.’ Khabbab berdiri kembali: ’Sekalian Ansar! Pegang teguh hakmu jangan undur, jangan didengarkan cakap orang ini dan kawan- kawannya, lepas hakmu kelak.’ Hebat sekali pertentangan Umar dengan Khabbab. Dengan tenang Abu ‘Ubaidah tampil ke muka dan berkata: ‘Kaum Ansar! Ingatlah bahwa kamu yang mula-mula menjadi pembela dan penolong, maka janganlah kamu pula yang mula-mula menjadi pemecahan dan penukar.’ Dengan tangkas Basyir bin Sa’ad tampil ke muka, dia seorang yang terpandang dalam golongan Ansar dari Aus: ‘Wahai kaum Ansar, memang, demi Allah, kita mempunyai beberapa kelebihan dan keutamaan, di dalam pejuangan yang telah ditempuhi oleh agama ini. Tetapi ingatlah, pekerjaan besar itu kita kerjakan bukanlah lantaran mengharap yang lain, hanyalah semata-mata mengharapkan redha Allah dan taat kepada Nabi kita, untuk penunjukan diri kita masing-masing kepada Tuhan! Sebab itu tidaklah patut kita me-manjangkan mulut menyebut-nyebut jasa itu kepada manusia, jangan diambil menyebut-nyebut jasa itu untuk peningkat dunia. Ingatlah bahwa Allah telah memberi kita kemuliaan dan pertolongan bukan sedikit. Ingat pula bahwa Muhammad itu terang dari Quraisy, kaumnya lebih berhak menjadi penggantinya mengepalai kita. Demi Allah, saya tidak mendapat satu jalan untuk menentang mereka pada pekejaan yang telah terang ini. Takutlah kepada Allah, jangan bertingkah dengan saudara-saudara kita Muhajirin, jangan berselisih!’ Majlis tenang!.

Ketika itu berkatalah Abu Bakar: ‘Ini ada Abu ‘Ubaidah dan Umar, pilihlah mana di antara keduanya yang kamu sukai dan bai’atlah!’ Dengan serentak keduanya membantah:’Tidak, tidak. Demi Allah, kami tidak akan mahu menerima pekerjaan besar ini selama engkau masih ada, engkaulah orang Muhajirin yang lebih utama, engkaulah yang berdua saja dengan Rasulullah di dalam gua ketika terusir, engkaulah yang ditetapkannya menjadi gantinya sembahyang seketika dia sakit, ingatlah bahwa sembahyang itu seutama-utama agama orang Islam! Siapakah yang akan berani melangkahimu dan memegang pekerjaan ini…? Tadahkan tanganmu, kami hendak membai’atkan engkau!’ Lalu Umar mengambil tangannya dan membai’atnya, setelah itu mengikut Abu ‘Ubaidah, diiringi oleh Basyir bin Sa’ad. Basyir dari golongan Ansar persukuan Aus, Sa’ad bin ‘Ubadah dari persukuan Khazraj, Aus jauh lebih kecil persukuannya daripada Khazraj. Kalau sekiranya jadi pekerjaan Khalifah diberikan kepada Ansar, tentu Aus selamanya tidak juga akan mendapat giliran karena kecilnya. Ini kelak akan mendatangkan fitnah juga dalam negeri Madinah, menimbulkan permusuhan jaman jahiliyah. Pilihan yang ditimbang oleh Basyir ketika berpidato itu. Demi melihat Basyir membai’at, maka berduyun-duyunlah anggota Aus yang lain mem-bai’at Abu Bakar. Melihat itu, maka anggota-anggota Khazraj pun telah terpengaruh pula olehnya. Selesai pertemuan itu, kesemuanya tampil ke muka membai’at Khalifah yang tercinta itu, sehingga Abu ‘Ubaidah yang duduk bersandar ke dinding karena tidak boleh berdiri lantaran demam, hampir terpijak.

Adapun Ali bin Abu Thalib, ia tidak hadir di situ, lantaran sedang menjaga jenazah Rasulullah, dan ketidak-hadirannya itu menjadi alasan pula baginya untuk tidak turut membai’at. Melihat ramai pihak yang telah datang berduyun-duyun mem- bai’at Abu Bakar, maka bani Hasyim pun tidaklah dapat mengelakkan diri lagi, apalagi setelah mereka mengerti bahwa khalifah itu bukanlah sama dengan pangkat kenabian. Insaflah mereka bahwa perkara ini bukan perkara urusan keluarga, tetapi urusan siapakah orang yang paling mulia di sisi Nabi, padahal mereka semuanya memang mengakui akan keutamaan Abu Bakar Apakah lagi suatu kelebihan yang lebih utama daripada menjadi wakil Rasulullah bersembahyang di waktu sakitnya. Kalau Rasulullah sendiri telah percaya kepadanya dalam urusan dunia, iaitu memerintah umat, Ali sendiri pun akhirnya mem-bai’atnya juga, iaitu beberapa waktu setelah wafat isterinya Fatimah binti Rasulullah itu.

Pidato Abu Bakar
Setelah selesai orang membai’at itu, Abu Bakar pun berpidatolah, sebagai sambutan atas kepercayaan orang banyak kepada dirinya itu, penting dan ringkas: ’Wahai manusia, sekarang aku telah menjabat pekerjaan kami ini, tetapi tidaklah aku orang yang lebih baik daripada kamu. Maka jika aku lelah berlaku baik dalam jabatanku, sokonglah aku. Tetapi kalau aku berlaku salah, tegakkanlah aku kembali. Kejujuran adalah suatu amanat, kedustaan adalah suatu khianat. Orang yang kuat di antara kamu, pada sisiku hanyalah lemah, sehingga hak si lemah aku tarik daripadanya. Orang yang lemah di sisimu, pada sisiku kuat, sebab akan ku ambilkan daripada si kuat akan haknya, Insya Allah. Janganlah kamu suka menghentikan jihad itu, yang tidak akan ditimpa kehinaan. Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan RasulNya. Tetapi kalau-kalau langgar perintahNya, tak usahlah aku kamu taat dan ikut lagi. Berdirilah sembahyang, moga- moga rahmat Allah meliputi kamu.’

Tentera Usamah
Bukanlah urusan bai’at yang sulit itu saja bahaya yang menimpa umat Islam sewafat Rasulullah. Tetapi baru saja tersiar khabar kematian itu ke seluruh pojok Tanah Arab bergeraklah orang-orang munafik yang hendak mencari keuntungan diri sendiri, timbullah golongan kaum murtad dan Nabi-nabi palsu, semuanya hendak memberontak melepaskan diri daripada persatuan Islam yang baru tegak itu. Sedang kaum Muslimin sendiri ketika itu di dalam susah besar dan kemasyghulan lantaran kematian Nabi. Kaum pemberontak itu baru saja memeluk Islam, mereka belum tahu hakikat agama, masuknya ke agama hanya dibondong gerakan ramai, dan segan kepada kekuasaan Nabi. Tentu saja setelah Nabi wafat mereka hendak belot.

Ada satu golongan pula yang sudi juga mendirikan sembahyang, tetapi tidak hendak mengeluarkan zakat lagi. Demikian besar bahaya yang sedang mengancam, sedikit pun tidak kelihatan perubahan muka Abu Bakar. Ada orang mengatakan kepadanya supaya orang-orang yang tidak sudi mengeluarkan zakat itu tak usah diperangi, karena mereka masih sudi sembahyang. Tetapi dengan tegas beliau berkata: ‘Tidak, penderhaka yang hendak memperbedakan sembahyang dengan zakat itu mesti kuperangi juga, walau saya akan dihambat dengan ikatan sekalipun.’. di dalam nash perkataan sholat sering diiringi dengan zakat, maka tidak benar bila membeda-bedakan dan memilih-milih salah satu syariat-syariat agama yang wajib dan membuang syariat yang diinginkan oleh hawa nafsu sendiri.

Tetapi sebelum mengatur persiapan memerangi pemberontak- pemberontak itu, Abu Bakar lebih dahulu hendak menyempurnakan angkatan perang di bawah pimpinan Usamah yang usianya masih terlalu muda, baru kira-kira 17 tahun. Dia diangkat oleh Rasulullah menjadi kepala perang, tetapi pejalanannya diundurkan lantaran kematian Rasulullah. Banyak ketua-ketua Quraisy menjadi serdadu di bawah perintahnya.

Demi setelah Rasulullah wafat, Umar meminta supaya pengiriman Usamah itu diundurkan saja karena banyak yang lain yang lebih penting, atau tukar dengan kepala tentera yang lebih tua. Dengan gagah dia mendekati Umar dan menunjukkan kuasa dan kekerasannya kepada sahabatnya itu: ‘Celaka engkau, wahai anak si Khattab, Rasulullah sendiri yang mengangkat dia, belum lama lagi dia terkubur, engkau menyuruh saya mengubah perintahnya?’ Pemberangkatan Usamah itu dilangsungkan juga. Dia pergi ke tempat perhentian serdadu Usamah melepaskan berangkat. Ketika dia memberikan pesannya yang penting-penting kepada Usamah, Usamah di atas kenderaannya dan beliau berjalan kaki.‘Biarlah hamba turun ke bawah dan paduka naik ke atas kenderaan ini,’ kata Usamah.‘Tidak,’ jawab beliau, ‘belumlah akan mengapa jika kakiku kena debu beberapa saat di dalam menegakkan jalan Allah.’ Setelah itu dimintanya kalau boleh Usamah mengizinkan Umar tinggal di Madinah, tidak jadi pergi berperang, karena Umar perlu benar baginya untuk teman di dalam mengatur siasat negeri.

Maka permintaan itu dikabulkan oleh Usamah. Tidaklah mahu Khalifah itu memerintahkan kepada kepala perang yang telah diserahinya pimpinan itu supaya Umar jangan dibawa, melainkan dimintanya. Ketika mereka akan berangkat itu beliau berpidato: ‘Jangan khianat, jangan mungkiri janji, jangan dianiaya bangkai musuh yang telah mati, jangan dibunuh anak-anak, orang tua dan perernpuan. Jangan di potong batang kurma, jangan di bakar dan jangan di- tumbangkan kayu-kayuan yang berbuah, jangan disembelihi saja kambing, sapi dan unta, kecuali sekadar akan dimakan. Kalau kamu bertemu dengan suatu kaum yang telah menyisihkan dirinya di dalam gereja-gereja hendaklah dibiarkan saja. Jika engkau bertemu dengan suatu kaum yang bercukur tengah-tengah kepalanya dan tinggal tepinya sebagai lingkaran, hendaklah perangi! Kalau diberi orang makanan hendaklah bacakan nama Allah seketika memakannya. Hai Usamah, berbuatlah apa yang diperintahkan Nabi kepadamu di negeri Qudha’ah itu, dan jangan engkau lalaikan sedikit pun perintah- perintah Rasulullah.’ Setelah dilepaskan tentera itu di Jaraf, beliau kembali ke Madinah. Usamah pun berangkat dikepungnyalah negeri Qudha’ah itu, empat puluh hari lamanya pertempuran hebat dengan musuh, maka dia pun kembali dengan kemenangan. Tentera ke Qudha’ah ini bukan sedikit memberi kesan kepada musuh-musuh yang lain, timbul perkataan, kalau sekiranya kaum Muslimin tidak mempunyai kekuatan, tentu mereka tidak akan mengirim tentera ke negeri Qudha’ah lebih dahulu sebelum menaklukkan yang lain.

Ada sisi lain yang menarik dan tersirat dalam pemberian sebagai pemimpin perang dan pengiriman anak muda ini oleh Rasulullah adalah pertama sebagai penunjukan secara langsung dalam acuan motivasi dan penguatan regenerasi dengan yang melibatkan pemuda sebagai pemimpin sebagai indikator penting agar pemuda-pemuda lainnya makin memiliki mental kuat dan semangat tinggi dalam mencapai kesuksesan dan keagamaan dengan melihat pencapaian kawan muda tersebut namun motivasi ini tidak berdasarkan keirian, juga harus dilihat bahwa fungsi pemuda tersebut memiliki kecakapan dalam bidangnya, dianggap mampu menyelesaikan misi tertentu itu dan keimanan yang kuat, yang kedua adalah agar konsistensi keberlangsungan hidup umat yang kuat jasmani dan rohani tetap terjaga yang bila yang tua saja terus menerus diutamakan, konsistensi regenerasi akan lambat dan bisa terputus bila yang memiliki keahlian dari kaum tua tiba-tiba out semua, yang ketiga melemahkan mental musuh dan menanamkan rasa takut dengan libatan sebagai pemimpin adalah pemuda, maka musuh akan gentar terhadap keeksisan keadaan serta kehebatan dan pamer kekuatan dan keberanian kaum muslimin ini yang terlihat seakan-akan sejak dari kecil, mereka telah didik sebagai orang-orang kuat atau semua kalangan kaum muslimin sepertinya kuat dan tidak ada habisnya. Baru yang muda saja seperti itu apalagi yang tua yang maju sebagai pemimpin, efek ini berjangka panjang kedepan dalam penaklukan berikutnya ditambah seringnya terlihat pula gonta-ganti kepala pemimpin tinggi dalam pasukan Islam seakan-akan menggambarkan orang hebat dan kuat pada pasukan muslim adalah banyak.

Akan huru-hara di segala pihak yang telah ditimbulkan oleh kaum murtad itu, yang agaknya bagi orang lain boleh mendatangkan kekusutan fikiran, oleh Abu Bakar ditunggu saja dengan tenang ketika yang baik. Ditunggunya Usamah pulang, karena di sana terletak sebahagian besar kekuatan. Setelah kembali dengan kemenangan- nya, maka Usamah dan tenteranya disuruhnya istirahat, karena beliau hendak menyelesaikan lebih dahulu kekusutan yang ditimbulkan oleh kaum ‘Absin dan Dhabyaan di luar Madinah, yang mencuba hendak memberontak pula.

Pimpinan kota Madinah diserahkan kepada yang lain dan beliau sendiri pergi menaklukkan kedua kaum itu kembali, hingga tunduk. Setelah itu barulah diaturnya tentera untuk mengalahkan kaum-kaum perusuh pemberontak itu. Tentera itu disuruh ke Dzul Qis’ah, kira-kira 10 batu dari Madinah, menghadap ke Najd. Di sanalah dibaginya 11 buah bendera kepada 11 orang kepala perang:
  1. Kepada Khalid bin Al-Walid, pergi memerangi Thulaihah bin Khuwailid Al-Asadi di negeri Bazaakhah. Kalau telah selesai di sana, teruskan mengalahkan Malik bin Nuwairah di negeri Bat’thaah.
  2. ‘Ikrimah bin Abu Jahal, memerangi Musailamah di Yamamah.
  3. Di belakang ‘Ikrimah disusuli oleh tentera Syurahbil bin Hasanah.
  4. Al-Muhajir bin Abu Umaiyah ke Yaman, mengalahkan Al-Aswad Al-’Ansi.
  5. Huzaifah bin Mihsan mengalahkan negeri Daba di ‘Uman.
  6. ‘Arfajah bin Hartsamah ke negeri Muhrah.
  7. Suwaid bin Mukrin ke Ti~Mmah di Yaman.
  8. Al-’Ala bin Al-Hadhramiy ke negeri Bahrein.
  9. Thuraifah bin Hajiz ke negeri bani Sulaim dan Hawazin.
  10. ‘Amru bin Al-Ash ke negeri Qudha’ah.
  11. Khalid bin Sa’id ke tanah-tanah tinggi Syam.

Dengan hati yang teguh dan kesetiaan kepala-kepala perang itu, di dalam masa yang tidak berapa lama, seluruh pemberontakan dan huru-hara itu, yang ditirnbulkan oleh beberapa orang yang mengakui dirinya jadi Nabi, atau yang hendak mencari keuntungan diri, me- mecahkan persatuan agama, telah dapat disapu bersih, itulah salah satu daripada kemuliaan yang tak dapat dilupakan oleh tarikh tentang diri Khalifah Rasulullah itu.

Menaklukkan Parsi
Setelah selesai huru-hara di dalam negeri itu, Khalifah Rasulullah menghadap ke luar negeri, menaklukkan negeri Parsi. Untuk itu telah diangkatnya kepala perang besar yang masyhur Saifullah Khalid bin Al-Walid. Kalau kelak maksud ini berhasil, perjalanan boleh di- teruskannya ke batas-batas Hindustan. Untuk pembantunya diangkat ‘Iyadh bin Ghanam, masuk dari utara Iraq. Penyerang Khalid telah berhasil masuk di negeri Parsi, sejak dari pinggir sungai Fblrat, sampai ke Ubullah, melingkungi Syam, Iraq dan Jazirah, demikian juga sebelah timur sungai Furat. Di beberapa tempat pahlawan besar itu telah bertempur dengan tentera-tentera Parsi, Rumawi dan Arab yang masih belum masuk kepada persatuan besar ini. Namanya kian menakutkan musuh. Namanya lebih dahulu telah menggegarkan tempat yang belum dimasukinya. Kalau suatu negeri ditaklukkannya, maka di sana diangkatnya seorang amir yang akan mengatur kharaj (cukai) dari ahli zimmah. Namanya sangat dipuji oleh musuhnya sebab orang tani dan pertaniannya tidak pernah digangunya melainkan dipeliharanya.

Lantaran itu jikalau dia masuk ke negeri Arab yang masih di bawah bendera (protectorat) Parsi, orang di sana lebih suka diperintahnya dan belot dari pemerintahan yang lama, sedang agama tidak diganggu. Sebab orang Arab di sana memeluk agama Masihi. Kalau terjadi perang tanding, menjadi kehinaan besar baginya kalau perang itu hanya bertegang urat leher dari jauh menghabiskan tempoh, dia lebih suka kepada permainan pedang, bertanding kepahlawanan, terutama dengan kepala-kepala kaum itu. Sebab dengan demikian, tempoh perang dapat disingkatkan. Temannya ‘Iyadh telah dapat menguasai Daumatul Jandal, sampai ke Iraq. Di Hirah kedua kepala perang yang gagah itu bertemu.

Menaklukkan Syam
Setelah itu Abu Bakar mengirim sural kepada penduduk Makkah, Tha’if, Yaman dan sekalian negeri Arab, sampai ke Najd dan seluruh Hejaz disuruh bersiap untuk mengatur suatu bala tentera besar, akan melakukan suatu peperangan yang besar, iaitu menaklukkan negeri Syam, pusat kerajaan Rumawi pada masa itu. Mendengar seruan itu orang pun bersiap. Sebahagian besar karena mengharapkan bertempur mempertahankan agama, dan tentu tidak kurang pula yang mengharapkan harta rampasan. Kata Ath-Thabari: ‘Tiap-tiap kepala perang itu telah ditentukan tempat tinggal mereka sebelum negeri itu dimasuki, buat Abu ‘Ubaidah telah ditentukan Hems, buat Yazid bin Abu Sufyan negeri Damsyik, buat Syurahbil bin Hasanah negeri Urdan (Jordan), buat Amru bin Al-Ash dan ‘Alqamah bin Al-Munzir negeri Palestin, Kalau telah selesai, maka ‘Alqamah akan meneruskan perjalanan ke Mesir.

Peperangan yang paling masyhur hebat dan besamya ketika penaklukan Syam itu ialah peperangan Yarmuk, iaitu suatu sungai besar. Di sanalah orang Rumawi dapat membutikan bahwa musuhnya memang besar dan kekuatan mereka sendiri tidak ada lagi. Sejak waktu itulah berturut-turut jatuh negeri Quds, Damsyik, Hems, Humaat, Halab dan lain-lain. Sedianya peperangan ini tidaklah akan berakhir begitu menyenangkan. Karena telah berhari berpekan peperangan di Yarmuk itu dilangsungkan, belum juga berakhir dengan baik. Sebab tiap-tiap kepala perang itu mengendalikan tenteranya sendiri-sendiri, kepala perang besar untuk menyatukan komando tidak ada. Padahal orang Rumawi telah bermaksud hendak keluar dari benteng mereka melakukan serangan besar-besaran. Waktu iku datanglah Khalid bin Al-Walid dengan tiba-tiba, yakni setelah selesai melakukan serangannya di Parsi.

Dia mendapat surat Khalifah menyuruh lekas pindah ke Rumawi. Setelah tiba di situ dikumpulkannya kepala-kepala perang dan diadakannya pidato yang berapi-api untuk menaikkan semangat. Di antara ucapannya: ’Saya tahu bahwa kamu semua telah dipecah-pecahkan oleh kemegahan dunia. Demi Allah! Sekarang berhentikan lah itu, degarlah bicaraku! Hendaklah pimpinan tentera disatukan, sehari si anu, sehari lagi si anu. Hari ini biar saya, besok salah seorang di antara kamu.’ Orang-orang itu menerima.

Baru saja tentera berada di bawah pimpinannya, sudah nampak alamat kemenangan, sehingga besoknya tidak ada yang berani menggantikannya lagi. Begitulah kemenangan telah diperoleh di bawah pimpinan Khalid. Satu cubaan besar datanglah kepada pahlawan itu seketika perang sangat hebatnya. Surat datang dari Madinah, menyatakan bahwa Khalifah Rasulullah yang pertama wafat. Sekarang yang memerintah ialah Umar, bukan Abu bakar lagi. Khalid mesti berhenti memimpin peperangan, digantikan oleh Abu ‘Ubaidah. Surat itu disimpannya saja sampai peperangan berhenti, takut tentera akan kacau.

Setelah kalah musuh dan menang kaum Muslimin, barulah dia datang kepada Abu ‘Ubaidah, mengucapkan salam kepada Amiril Jaisy (kepala tentera). Dan dengan muka gagah segala pimpinan diserahkannya, dia tetap menjadi serdadu biasa meneruskan pertempuran ke tempat-tempat yang lain. Seketika ditanyai orang, dengan megah pahlawan itu berkata: ‘Saya berperang bukan lantaran Umar!’ Laksana Basyir, pahlawan Ansar tempoh hari itu pula mengatakan bahwa Ansar bertempur bukan mencari megah dunia! Lebih dari 100,000 tentera Rumawi binasa waktu itu.

Wafatnya Abu Bakar
Pada 7 hari bulan Jumadil Akhir tahun ketiga belas Hijrah, beliau ditimpa sakit. Setelah 15 hari lamanya menderita penyakit itu, wafatlah beliau pada 21 hari bulan Jumadil Akhir tahun 13H, bertepatan dengan tanggal 22 OQos tahun 634 Masihiyah. Lamanya memerintah ialah 2 tahun 3 bulan 10 hari. Dikebumikan di kamar Aisyah di samping makam sahabatnya yang mulia Rasulullah sallallaahu alaihi wasallam!

Sabtu, 24 Agustus 2013

NABI ADAM AS

  1. NABI ADAM AS.
Menyebut nama Nabi Adam Alaihissalam (AS), maka akan terlintas dalam benak pikiran manusia, sosok manusia pertama cerdas (berakal) yang diciptakan Allah SWT. kisah penciptaan Adam terdapat dalam surah Al-Baqarah [2] ayat 30.
“Ingatlah ketika Tuhamu berfirman kepada para Malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang-orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS Al-Baqarah [2]: 30)
               
Selain ayat di atas, masih banyak lagi ayat-ayat AlQuran yang menceritakan tentang kisah penciptaan Nabi Adam AS. Dalam AlQuran, nama Adam disebut sebanyak 25 kali, dan kisahnya antara lain dipaparkan dalam surah Al-Baqarah [2]: 30-39, Al-A’raf [7]: 11-25, Al-Hijr [15]: 26-38, Al-Isra’ [17]: 61-65, Thaha [20]: 115-127, dan Shad [38]: 71-78.
Secara umum disebutkan, Adam adalah salah satu makhluk Allah, Ia bersama Hawa (istrinya) menjalani kehidupan di surga, kemudian Allah menurunkannya ke bumi untuk menjadi khalifah (pengelola bumi). Bersama istri dan keturunannya, Adam menjadi penghuni dan pengelola bumi. Kisah diturunkannya Adam ke bumi diawali saat Adam dan Hawa memakan buah Khuldi di surga. Allah melarang keduanya untuk memakan buah Khuldi.
“Dan Kami berfirman: “Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik di mana saja kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini (khuldi), yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zhalim.” (QS Al-Baqarah [2]: 35).
“Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: “Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi (kekekalan) dan kerajaan yang tidak akan binasa?” (QS Thaha [20]: 120)
Keduanya pun terbujuk dengan rayuan iblis, hingga mereka memakan buah khuldi tersebut.
“Maka keduanya memakan buah tersebut, lalu tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam kepada tuhan dan sesatlah dia.” (QS Thaha [20]: 121)
Menurut Ibnul Atsir, Adam AS awalnya menolak mengikuti bujukan iblis, namun desakan Siti Hawa yang begitu kuat, akhirnya membuat Adam ikut memakan buah tersebut. Lihat An-Nihayah fi Gharib Al-Hadits, karya Ibnul Atsir jilid 3 hlm. 158.
Keduanya lalu bertobat dan memohon ampun kepada Allah dan Allah menerima tobat mereka dan memilih Adam sebagai Rasul-Nya.
“Kemudian Tuhannya memilihnya (menjadi Rasul), maka Dia menerima tobatnya dan memberinya petunjuk.” (QS Thaha [20]: 122)
Kendati Allah SWT telah menerima tobat Adam dan Hawa, namun sebagaimana kehendak Allah untuk menjadikannya sebagai khalifah di bumi, maka Adam dan Hawa lalu diturunkan ke bumi.
“turunlah kamu! Sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain. Dan bagi kamu ada tempat tinggal dan kesenangan di bumi sampai waktu yang ditentukan.” (QS al-Baqarah [2]: 36)
“Turunlah kamu semua dari surga! Kemudian jika benar-benar datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” (QS al-Baqarah [2]: 38)
Di bumi, Adam dan Hawa bertempat tinggal serta mengembangkan keturunannya. Lihat firman Allah SWT dalam surah Al-A’raf [7]: 24-25.
“Turunlah kamu! Kamu akan saling bermusuhan satu sama lain. Bumi adalah tempat kediaman dan kesenangan sampai waktu yang telah ditentukan. Di sana kamu hidup, disana kamu mati dan dari sana (pula) kamu akan dibangkitkan.” (QS Al-A’raf [7]: 24-25)
Selain Adam dan Hawa, Allah juga menurunkan Iblis dan ular ke bumi. Sebelumnya, iblis lebih dahulu diusir dari surga karena tidak mau sujud kepada Adam. Al-Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir At-Thabari RA dalam tafsirnya ketika menerangkan ayat ke-36 surah Al-Baqarah [2], membawakan sebuah riwayat dengan sanad bersambung kepada para sahabat Nabi SAW seperti Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud, dan lainnya
“Ketika Allah memerintahkan kepada Adam dan Hawa untuk tinggal di surga dan melarang keduanya memakan buah khuldi, iblis memiliki kesempatan untuk menggoda Adam dan Hawa, namun, ketika akan memasuki surga, iblis dihalangi oleh malaikat. Dengan tipu muslihatnya, iblis kemudian mendatangi seekor ular, yang waktu itu ia adalah hewan yang mempunyai empat kaki seperti unta, dan ia adalah hewan yang paling bagus bentuknya. Setelah berbasa-basi, iblis lalu masuk ke mulut ular dan ular itu pun masuk ke surga sehingga iblis lolos dari pengawasan malaikat.” (Tafsir At-Thabari)
Gunung Tertinggi
Lalu, setelah dikeluarkan dari surga, dimanakah Adam dan Hawa diturunkan? Para ulama berselisih pendapat mengenai hal ini. Mayoritas ulama sepakat bahwa keduanya diturunkan secara terpisah dan kemudian bertemu di Jabal Rahmah, di Arafah.
Mengenai tempat diturunkannya inilah yang menjadi perselisihan pendapat di kalangan ulama. Al-Imam At-Thabari dalam Tarikh Thabari (jilid 1 hlm 121-126), menyatakan, Mujahid meriwayatkan keterangan dari Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib yang mengatakan: “Adam diturunkan dari surga ke bumi di negeri India.” Keterangan ini juga diriwayatkan oleh Thabrani dan Abu Nu’aim di dalam kitab al-Hilyah, dan Ibnu Asakir dari Abu Hurairah RA.
Thabrani meriwayatkan dari Abdullah bin Umar :
“Ketika Allah menurunkan Adam, Dia menurunkannya di tanah India. Kemudian dia mendatangi Makkah, untuk berhaji kemudian pergi menuju Syam (Syria) dan meninggal di sana.” (HR. Thabrani)
Abu Shaleh meriwayatkan juga dari Ibnu Abbas yang menerangkan bahwa Hawa diturunkan di Jeddah (Arab: nenek perempuan) yang merupakan bagian dari Makkah. Kemudian dalam riwayat lain At-Thabari meriwayatkan lagi bahwa Iblis diturunkan di negeri Maisan, yaitu negeri yang terletak antara Basrah dengan Wasith, sedangkan ular diturunkan di negeri Asbahan (Iran).
Riwayat lain menyebutkan, Adam diturunkan di bukit Shafa dan Siti Hawa di bukit Marwah. Sedangkan riwayat lain menyebutkan Adam AS diturunkan diantara Makkah dan Thaif. Ada pula yang berpendapat Adam diturunkan di daerah India sementara Hawa di Irak.
AlQuran sendiri tidak menerangkan secara jelas di mana Adam dan Hawa diturunkan. AlQuran hanya menjelaskan tentang proses diturunkannya Adam dan Hawa ke bumi. Lihat Al-Baqarah [2]: 30-39 dan Al-A’raf [7]: 11-25.
Sementara itu, menurut legenda agama Kristen, setelah diusir dari Taman eden (Surga), Adam pertama kali menjejakan kakinya di muka bumi di sebuah gunung yang dikenal sebagai Puncak Adam atau Al-Rohun yang terdapat di Sri Langka.
Menurut At-Thabari, tempat Adam diturunkan adalah di puncak gunung tertinggi di dunia. Keterangan At-Thabari ini kemudian diikuti oleh para ahli geografi modern, dan merupakan pendapat yang paling kuat dasarnya.
Pendapat ini juga diikuti oleh Syauqi Abu Khalil dalam bukunya Atlas Al-Qur’an, dan Sami bin Abdullah Al-Maghluts dalam Atlas Sejarah Nabi dan Rasul. Para ahli geologi telah melakukan berbagai penelitian mengenai gunung tertinggi di dunia, mulai dari dartan Asia, Eropa, Afrika, Amerika, hingga Australia. Dan dari penelitian itu disepakati bahwa gunung tertinggi di dunia adalah Gunung Everest (Mount Everest) yang ada di daerah Himalaya, mencapau 8.848 meter dari permukaan laut (dpl). Dari sinilah para ahli meyakini bahwa Adam memang diturunkan di daerah ini, yaitu di puncak tertinggi di dunia (Mount Everest).
Diturunkan untuk Menjadi Khalifah
Dalam berbagai riwayat, termasuk dalam kepercayaan orang-orang non-muslim sebagaimana keterangan kitab-kitab mereka, Adam dan Hawa diturunkan ke bumi akibat perbuatan mereka yang melanggar larangan Allah SWT. larangan tersebut adalah memakan buah khuldi, karena tergoda oleh rayuan dan bujukan Iblis. Sebagian umat islam juga mempercayai hal ini, yaitu mereka (Adam dan Hawa) diturunkan ke bumi ini akibat melanggar larangan Allah yaitu memakan buah khuldi.
Tentu saja, anggapan ini keliru dan sangat berbahaya bagi akidah umat islam. Sebab, dengan meyakini diturunkannya Adam dan Hawa karena perbuatan mereka memakan buah khuldi, berarti umat manusia saat ini menanggung dosa (warisan) sebagaimana kepercayaan dalam agama lain. Hal inilah yang ditolak oleh islam. Dalam ajaran islam, tidak ada istilah dosa warisan. Setiap orang yang berbuat keburukan, maka dialah yang menanggung dosanya dan tidak ada dosa bagi orang lain yang tidak mengikutinya.
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir menerangkan, andai dosa Adam itu ditanggung pula oleh umat manusia, hal itu bertentangan dengan keterangan AlQuran yang menyatakan bahwa manusia tidak akan memikul dosa orang lain.
“(Yaitu) bahwasanya, seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (QS An-Najm [53]: 38). Keterangan serupa juga terdapat dalam surah An-An’am [6]: 164, Al-Isra’ [17]: 15, Fathir [35]: 18, Az-Zumar [39]: 7.
Ibnu Katsir menjelaskan, diturunkannya Adam AS ke bumi ini memang direncanakan dan sesuai dengan skenario Allah SWT untuk menjadikannya sebagai khalifah yakni mengelola bumi dan seisinya (QS  [2]: 30). Karena itulah, Allah mengejarkan (ilmu) tentang nama-nama setiap benda kepada Adam, dan tidak diajarkan kepada malaikat, termasuk iblis (QS [2]: 31-37). Dengan ilmu itu agar nantinya anak-cucu Adam di bumi bisa mengetahui dan mengelolanya dengan baik untuk kehidupan mereka di masa-masa berikutnya.
Dengan penguasaan ilmu itu, maka Allah memerintahkan kepada malaikat dan iblis untuk bersujud kepada Adam. Malaikat melaksanakan perintah Allah dan bersujud, sedangkan iblis menolaknya. Dan atas penolakan iblis itu, maka Allah pun mengutuk dan mengusirnya dari surga.
Keterangan inilah yang akhirnya membuat seorang peneliti bidang matematika dari Universitas Kansas, Amerika Serikat, Prof. Dr. Jeffrey Lang, untuk memeluk islam. “Adam diturunkan ke bumi bukan karena dosa yang diperbuatnya, melainkan karena Allah SWT menginginkan seorang khalifah di bumi untuk mengatur dan mensejahterakan alam.” Ujarnya. Lang mengatakan, ia benar-benar berupaya keras memahami ayat 30-39 surah Al-Baqarah [2] yang menjelaskan tentang penciptaan Adam hingga ia diturunkan ke bumi. Ia membandingkannya dengan ajaran agama yang dianutnya terdahulu didalam berbagai literatur dan kitab suci. Namun, ia kecewa dengan hasilnya. Maka ia berusaha untuk terus mencari hingga akhirnya menemukan jawabannya di dalam AlQuran.
Penjelasan terperinci Jeffrey Lang mengenai hal ini dan pergulatannya dalam memahami islam, ia kemukakan dalam bukunya Losing My Religion: A Call for Help.
Adam bukan Makhluk Pertama
Nabi Adam AS adalah manusia cerdas pertama yang diciptakan Allah SWT. ia diberikan akal pikiran dan dapat mengetahui segala sesuatu, termasuk yang menciptakannya, Allah SWT. dan Adam diciptakan oleh Allah SWT untuk menjadi khalifah di muka bumi, yakni mengelola, merawat dan melestarikannya untuk anak cucunya kelak. (QS Al-Baqarah [2]: 30-39).
Banyak pendapat yang mengatakan, Adam bukanlah manusia pertama. Pendapat ini terekam dalam berbagai buku. Bahkan beberapa diantaranya ditulis oleh penulis muslim. Menurut mereka maknanya bukan menciptakan (khalaqa), melainkan menjadikan (ja’ala). Sebagaimana diketahui, Adam AS memang bukan makhluk pertama yang diciptakan Allah. Sebab, masih ada makhluk lain yang lebih dahulu diciptakan-Nya, seperti Malaikat dan Iblis.
Pendapat yang menyatakan bahwa Adam bukan manusia pertama, salah satunya dikemukakan ole Dr. Abdul Shabur Syahin. Dalam bukunya Ar-Rawafid al-Saqafiyah (Adam Bukan Manusia Pertama? Mitos atau Realita), Syahin mengatakan, Adam adalah Abul Insan, bukan Abul Basyar. Keduanya bermakna sama, yakni bapak (nenek moyang) manusia.
Abdul Shabur Syahin membedakan makna antara al-Insan dan al-Basyar. Karena perbedaan itu, Syahin menegaskan, Adam bukanlah manusia pertama. Menurutnya, Adam bukan diciptakan, melainkan dilahirkan. Makna dari dilahirkan berarti ada orangtuanya. Ia membedakan antara kata ja’ala (menjadikan) dan khalaqa (menciptakan). Menurutnya, dalam surah Al-Baqarah [2]: 30, An-Naml [27]:62, Fathir [35]: 39, kata ‘menjadikan khalifah’ bukanlah menciptakan manusia baru, tetapi meneruskan cara kerja manusia yang sudah ada sebelumnya. Karenanya, kata dia, Adam bukanlah manusia pertama.
Pendapat ini dibantah oleh Syekh Abdul Mun’im Ibrahim. Menurutnya, pendapat yang diutarakan oleh Abdul Shabur Syahin tentang Adam dilahirkan, sangat bertentangan dengan sejumlah ayat AlQuran maupun beberapa hadits Nabi Muhammad SAW yang menyebutkan awal mula penciptaan Adam dari tanah. “Pendapat Abdul Shabur Syahin bahwa Adam dilahirkan oleh kedua orangtuanya, mengingatkan kita pada teori evolusi yang dikemukan Charles Darwin, seorang Yahudi picik yang menulis dalam bukunya Ashl al-Anwa’ (Asal Mula Penciptaan). Darwin berpendapat, manusia berevolusi dari bentuk aslinya ke bentuk sekarang,” tegas Syekh Mun’im Ibrahim, dalam bukunya Ma Qabla Khalqi Adam (Adakah Makhluk Sebelum Adam, Menyingkap Misteri Awal Kehidupan), dan Wafqat Ma’a Abi Adam.
Syekh Mun’im setuju bahwa ada makhluk lain sebelum Adam diciptakan. Artinya, Adam bukan makhluk pertama. Namun demikian, ia sangat yakin bahwa Adam adalah manusia pertama yang berakal yang diciptakan Allah SWT. Pendapat senada dengan penjelasan Syekh Mun’im ini, juga terdapat dalam buku Al-Jamharah karya Abu Darid, At-Tahzib karya Al-Azhari, Diwan al-Adab karya al-FArabi, Mu’jam Maqayis al-Lughah karya Ibnu Faris, Lisanu al-Arab karya Ibnu al-Manzhur Al-Ifriqi, lalu As-Shahhah karya Al-Jauhari, dan al-Mukhtar karya Ar-Razi.
Sejumlah pihak mengatakan, bahwa sebelumnya telah ada makhluk lain yang disebut manusia (Nisnas) dan mengelola bumi ini. Namun, mereka bukanlah manusia (Nisnas) yang berakal sehingga dalam pengelolaannya makhluk itu banyak melakukan kerusakan dan kehancuran. Itulah, menurut berbagai pendapat, sehingga malaikat berkata kepada Allah, bahwa makhluk yang diciptakannya untuk mengelola bumi itu akan melakukan kerusakan, sebagaimana pendahulunya. Wa Allahu A’lam.
Makhluk Pertama
Lalu, apa atau siapa makhluk yang pertama kali diciptakan Allah SWT? menurut Syekh Mun’im, makhluk yang pertama kali diciptakan adalah qalam(pena). Dari Ubadah bin As-Shamit, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Awal makhluk yang Allah SWT ciptakan adalah pena, lalu Dia berkata kepada pena, ‘Tulislah.’ Pena berkata, ‘Apa yang aku tulis?’ Allah berkata, ‘Tulislah apa yang akan terjadi dan apa yang telah terjadi hingga hari Kiamat.”
Imam Ahmad RA meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda: “Bahwa makhluk yang pertama kali Allah ciptakan adalah pena, lalu Dia berkata kepada pena tersebut, ‘Tulislah.’ Maka pada saat itu berlakulah segala apa yang ditetapkan hingga akhir kiamat.” (Lihat Musnad Ahmad RA).
Dalam riwayat lain, ada yang mengatakan, makhluk yang pertama diciptakan adalah dawat (tinta), lalu pena. Ada pula yang menyebutkan, air pertama kali diciptakan.
Menurut Syekh Mun’im, pena adalah makhluk pertama yang diciptakan. Pendapat ini telah di-tarjih dan dikuatkan oleh Ibnu jarir dan Nashiruddin al-Albani RA. Setelah Allah menciptakan qalam, maka kemudian dilanjutkan dengan penciptaan tinta (dawat). Selanjutnya, Allah menciptakan air, kemudian arasy (singgasana), kursi, lauh al-mahfuzh, langit dan bumi (semesta), malaikat, surga, neraka, jin dan iblis (syaitan), dan Adam AS.